Bila kamu lewat beberapa ruas jalan di Kota Solo. Kamu akan menjumpai seseorang yang mengenakan rompi hijau dan peluit. Mereka adalah para Supeltas (sukarelawan pengatur lalu-lintas), selintas mereka terlihat bersemangat mengatur arus jalan raya.
Mereka dulunya berasal dari berbagai latar belakang. Kini mereka ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain yaitu dengan menjadi Supeltas. Daripada menjadi seorang peminta-minta, mereka lebih baik bekerja menjadi sukarelawan. Banyak kisah suka-duka yang dialami para Supeltas. Seperti diludahi pengendara dan hampir terserempet pengendara motor yang melintas.
Banyak kisah kegagalan hidup bapak-bapak Supeltas (sukarelawan pengatur lalu-lintas) yang dikemas menjadi cerita untuk memotivasi sesama manusia. Buku yang memberikan cerita tentang kisah gagal dan penyesalannya, serta mengetahui bagaimana cara mereka untuk bangkit dan mengubah sudut pandang tentang kehidupan saat ini.
Berbagai latar belakang yang bermacam-macam mulai dari pengamen, preman, pencopet, bandar narkoba dll, kini menjadikan mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Seorang sukarelawan pengatur lalu-lintas yang selalu memakai atribut lengkap kebanggaanya yaitu rompi dan peluit. Ini adalah sebuah buku yang menggambarkan kisah hidup seorang Supeltas.
Sepenggal sinopsis dari buku berjudul “Bernapas Bersama Peluit” karya Dodik Moerdijanto Laksmana Poetra, pemenang #Project Passion Passionville 2017. Passionville sendiri merupakan kompetisi proyek sosial yang mengajak anak muda Indonesia untuk merealisasikan proyek sosialnya melalui aspirasi kreatif, inovatif dalam bentuk ide-ide proposal, yang diharapkan berdampak positif serta menginspirasi lingkungan sekitar.
Awal mula Dodik membuat buku ini berawal saat dirinya bertemu dengan Supeltas. Ia melihat semangat dan kisah mereka membuatnya terinspirasi untuk membuat proyek sosial ini. Buku ini dituliskan selama satu tahun tentang kehidupan para supeltas di Solo, bahkan pemuda 20 tahun tersebut juga ikut menyelami kehidupan sehari-hari supeltas dengan tinggal bersama mereka. Dalam acara tersebut juga ada launching Yayasan Supeltas Indonesia yang sudah resmi berbadan hukum. Nantinya, yayasan ini bisa menjadi wadah bagi para supeltas dalam hal kesejahteraannya.
Saat meliput acara launching buku ini, saya sempat ngobrol sebentar dengan salah satu koordintaor Supeltas Solo yaitu Rahmat Kartolo. Ia sudah puluhan tahun menjadi seorang Supeltas. “Dulu kami sering disebut polisi cepek. Kami tidak pernah meminta uang, ini sukarela dari kami anggota Supeltas untuk mengatur kepadatan lalu-lintas,” ujarnya singkat ketika saya tanya.
Komentar
Posting Komentar