Beberapa waktu
yang lalu, ada diskusi menarik mengenai pariwisata kota Solo bersama para
praktisi. Acara digelar dua kali dengan tema yang berbeda di salah satu hotel
di Solo. Acara pertama adalah bincang santai
bersama Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) dan Association of The Indonesian
Tours & Travel Agencies (ASITA) Solo dengan tema Solo Dimata Pemandu Wisata.
Acara tersebut menghadirkan
Agung Setyodinoto (Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Solo; Pri
Siswanto (Ketua Association of The Indonesian Tours & Travel Agencies atau
ASITA Solo) dan Elizabeth Sudiro (Penyanyi dan Penulis Lagu “Rindu Solo”).
Dalam bincang
santai dibahas apa saja kendala dalam dunia pariwisata saat ini. Kenapa perkembangan
pariwisatanya belum seperti kota lainnya. Terutama dimasa pandemi seperti
sekarang ini sangat berpengaruh, cara untuk pemulihan di sektor pariwisata itu
juga. Para praktisi juga menggandeng beberapa pegiat media sosial untuk ikut mendongkrak
pariwisata kota Solo.
Untuk
mempromosikan pariwisata sekarang ini perlu sinergi bersama dari berbagai
pihak, baik swasta maupun pemerintah. Solo sebenarnya membutuhkan ikon khas
pariwisata kota. Kota ini harus berbeda daripada kota lainnya. “Wisatawan
mengira Solo terkenal akan batiknya padahal dikota lain juga terdapat batik
khasnya. Namun, yang menjadi khas ikon pariwisata kota Solo belum ketemu”,
ujar Agung Setyodinoto.
Di Kota lain,
Bali misalnya, turis yang datang kesana dari Bandara sudah disambut dengan alat
musik khas Bali dan itu menjadi kesan tersendiri. Lalu, kota Jogja juga
terdapat wisata hiburan musik angklung di area citywalk Malioboro, serta wisata
budaya Candi Prambanan.
Banyak potensi
pariwisata di Solo yang bisa mendatangkan wisatawan. Saya pernah membahas
tentang wisata Solo dengan mewawancarai pak Daryono, bahwa kenapa Solo lebih
dominan wisata MICE padahal di Solo wisata kuliner dan budaya juga tak kalah
dengan kota lainnya.
Length of Stay di Solo rata-rata 2,5 malam. Dengan menggelar event atau atraksi
khas kota Solo kemungkinan bisa membuat wisatawan lebih lama tinggal di Solo. Sebenarnya,
di Solo banyak wisata budaya dan kuliner yang menarik.
Para pakar
radio menjelaskan hambatan dan tantangan di era digitalisasi seperti sekarang
ini. Anas menjelaskan perlu adanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan
kreatif untuk mengatasi ini semua. Tren era podcast digital atau rekaman audio
yang dapat didengarkan oleh semua orang dan dimana saja mulai banyak digunakan
para milenial.
Namun, radio konvensional
juga masih mempunyai pendengar setianya. Di beberapa daerah bagi sebagian orang
radio juga masih menjadi media hiburan utama. Peran radio juga bermanfaat bagi
dunia pariwisata. Ini karena radio mempunyai sejarah yang panjang sebagai salah
satu media penyiaran di Indonesia.
Sekarang ini, promosi
dunia pariwisata menggunakan media digital ataupun media konvensional dengan
melibatkan orang-orang kreatif dibelakangnya akan dirasa lebih efektif untuk
mendongkrak pariwisata Indonesia di masa pandemi.
Komentar
Posting Komentar