Penyandang Disabilitas Menarikan Karya “Kami Tidak Berbeda”

 

Dalam liputan event Hari Tari Dunia, saya menemukan bagian menarik dalam acara. Beberapa siswa-siswi berkebutuhan khusus ikut pentas tari dalam event tersebut. Mereka menarikan sebuah karya berjudul “Kami Tak Berbeda” di Pendapa Ageng ISI Surakarta, Senin (29/4/2019).

Acara dibuka oleh Menteri Sosial yang diwakili Dr. Kanya Eka Santi (Sekretaris MSW, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial). Semua penari tampil kompak diatas panggung, mereka mengikuti instruksi pelatih yang berada di depan panggung. Penampilan diakhiri dengan pembacaan puisi oleh salah satu siswa difabel.

Tarian Kami Tak Berbeda karya Jonet Sri Kuncoro Dosen Pengampu Mata Kuliah Seni Tari Institut Seni Indonesia (ISI). Ia sudah mempelajari bahasa isyarat sejak tahun 2014 dan ini merupakan karyanya yang ketiga. Ada 28 siswa-siswi sekolah luar biasa yang ikut tampil. Mereka berasal dari berbagai kota diantaranya, Autis Yayasan Bina Asih (Surakarta); SLB B-C Hamong Putro (Sukoharjo) dan Disabilitas SLBN (Karanganyar). Mereka terdiri dari Tuna Grahita; Tuna Rungu; Tuna Wicara dan Tuna Daksa.

Solo Menari 2019 mengangkat Tema “Gegara Menari”, “Urip Mawa Urup, Urip Hanguripi”, salag satu pepatah Jawa yang bermakna sangat dalam. Yakni hidup dengan semangat hidup memberi hidup. Selain para penari disabilitas, solo menari juga menampilkan 600 jenis tarian yang dibawakan oleh 175 kelompok tari dari dalam ataupun luar negeri. Diantaranya 6 orang penari utama akan menari selama 24 jam nonstop. Kesenian itu bersifat universal yang mempunyai arti bahwa seni dapat diterima dan dilakukan oleh siapa saja.

 



 

Karya S Ngaliman Dipentaskan dalam Pagelaran Tari Langen Beksan

Masih berhubungan dengan dunia tari, disini liputan sambil belajar tentang dunia seniman terutama seni tari. Dipikiran saya seni budaya tari orang Jawa itu lemah lembut (luwes tenan sing podo nari). Saya mendapat tugas meliput acara pagelaran tari karya S Ngaliman. Waduh, siapa itu S Ngaliman? Langsung browsing dhisik, setelah cukup data langsung ke TKP acara.

Bagi yang belum tahu tentang S Ngaliman Tjondropangrawit, beliau seorang seniman tari klasik yang lahir di Solo. Seorang empu tari Jawa dan sekaligus pengrawit dari tradisi Keraton Surakarta. S Ngaliman telah menghasilkan karya dan garapan tari tidak kurang dari 20 judul. Sejak kecil berkecimpung didunia tari menghantarkannya hingga mendapatkan sejumlah penghargaan baik dari dalam maupun mancanegara.

Dengan kedisiplinannya, ketekunan, keluwesan dan tingkat tinggi profesionalisme, S Ngaliman juga merupakan salah satu perintis dalam memperkenalkan seni tari srimpi keluar dari tembok Keraton Kasunanan Surakarta. Saat ini, beliau merupakan satu-satunya empu tertua dalam kancah tari Jawa Surakarta.

Malam itu, karya S Ngaliman Tjondropangrawit dipentaskan dalam pagelaran tari Langen Beksan di Pendhapa SMKN 8 Surakarta (26-27/3/2019). Dalam acara tersebut juga menampilkan beberapa karya lainnya milik S Ngaliman. Seperti Bedhayan Retno Dumilah (ISI Jogja); Tari Bondoyudo (UNY Jogja); Tari Panji Tunggal (Wahyu SP); Srimpen Manggala Retno (UNESA Surabaya); Tari Pamungkas (UNNES Semarang); Tari Retno Tinanding (Padnecwara Jakarta); Tari Wiropertomo (ISI Solo); Tari Gambyong Gambir Sawit (Kel, Besar S Ngaliman); Tari Pejuang (SMKN 8 Solo); Tari Gunung Sari (Jeannie Park USA); Tari Retno Ngayudo (Sanggar Langen Mataya); Fragmen Sempati Hanoman (Yayasan Roro Jonggrang Prambanan); Srimpen Manggala Retno (IKJ Jakarta); Ciptoning (Kolaborasi).

Ketika saya datang, saat itu sedang menampilkan tarian pejuang. Tarian tersebut ditarikan oleh siswi SMKN 8 Surakarta. Ada 7 penari perempuan memakai atribut busur, panah dan keris. Tarian tersebut bermakna sebagai tarian perjuangan rakyat Indonesia ketika melawan penjajah Belanda. Gerakan tarian ini banyak menggunakan gerak tari keprajuritan. Setiap gerak keprajuritan. Setiap gerak mengandung makna pembelaan yang dilakukan secara berkelompok. Tari pejuang diciptakan oleh S Ngaliman tahun 1964.

 


 

Komentar