Pernah menengar
istilah buzzer? Era digitalisasi seperti sekarang muncul tren baru yaitu tren
buzzer. Lalu apa dan siapa sebenarnya para buzzer ini? Saya sebagai masyarakat
awam masih belum memahami seperti apa cara kerja dan tujuan mereka? Menurut
beberapa sumber artikel, buzzer biasa bekerja atas dasar pesanan isu
yang biasa dibawa suatu agensi (kehumasan, Public Relation), instansi (partai
politik, pemerintah), perusahaan produk tertentu, public figur atau pihak
lainnya. Dampak dari buzzer sendiri bisa membingungkan masyarakat dan masyarakat dapat
terjebak dalam popularism yang artinya seolah-olah yang paling populer itu
paling benar.
Secara personal
buzzer bukanlah siapa-siapa, tidak dikenal bahkan anonim. Buzzer itu bisa siapa
saja, bisa disekililing kita atau seseorang tanpa sengaja bisa menjadi buzzer. Seorang
buzzer bisa menaikan seorang tokoh atau menjatuhkan suatu tokoh dengan isu
tertentu.
Para buzzer itu
muncul dalam dinamika politik. Kelompok ini sangat lihai dan mahir mengelola suatu
isu publik melalui media sosial terutama twitter, sehingga menjadi perbincangan
luas khalayak (viral). Akun-akun medsos buzzer bisa saja cuma sembarang nama
dengan foto profil perempuan, laki-laki atau tokoh anime. Pihak yang merekrut
para buzzer tidak menggubris siapa identitas asli buzzer-buzzer ini.
Bagi perekrut
paling penting misinya tersebar dan viral di dunia maya. Buzzer bukanlah sosok
terkenal tapi mereka bisa mempengaruhi hingga menjadi trending topik media
sosial, mesin pencari dan konten viral. Buzzer yang meyakini kebenaran atas
subjek yang akan dia dengungkan maka akan bekerja sukarela. Sedang buzzer yang
memperoleh imbalan dari pekerjaan tidak lagi berpikiran tentang kebenaran,
norma maupun etika.
Dilansir dari
tulisan di media Republika, Debat politik dalam demokrasi dapat dibenarkan
untuk kepentingan pendidikan politik. Saling serang politik dengan menggunakan
data akurat terkait isu publik justru akan menjadikan publik kaya informasi
(tapi yo jangan dibuat sandiwara dan ojo disisipi buzzer). Dengan informasi,
pilihan politik warga akan didasarkan pada pertimbangan demi kebaikan publik
(Public Good). Bukan pertimbangan suka atau tidak, pertimbangan keyakinan yang
dianut atau bahkan pertimbangan fisik semata.
Beberapa hari
yang lalu Presiden juga menyampaikan agar masyarakat lebih aktif mengkritik
pemerintah. Namun, banyak kalangan bersikap skeptis dengan menuding buzzer dan
Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai penghambat budaya demokrasi. Setiap kritik
terhadap pemerintah, entah dari lembaga atau perseorangan akan mendapat
serangan dari buzzer pendukung pemerintah di media sosial dan rentan
dipidanakan. Tapi tenanan ora iki, yen meh kritik wis berdasar data fakta sing
akurat tapi mung agak nge-gas tetap di jerat UU ITE ora yo?
Komentar
Posting Komentar