Fenomena Buzzer dan Demokrasi di Indonesia

 

Pernah menengar istilah buzzer? Era digitalisasi seperti sekarang muncul tren baru yaitu tren buzzer. Lalu apa dan siapa sebenarnya para buzzer ini? Saya sebagai masyarakat awam masih belum memahami seperti apa cara kerja dan tujuan mereka? Menurut beberapa sumber artikel, buzzer biasa bekerja atas dasar pesanan isu yang biasa dibawa suatu agensi (kehumasan, Public Relation), instansi (partai politik, pemerintah), perusahaan produk tertentu, public figur atau pihak lainnya. Dampak dari  buzzer sendiri bisa membingungkan masyarakat dan masyarakat dapat terjebak dalam popularism yang artinya seolah-olah yang paling populer itu paling benar.

Secara personal buzzer bukanlah siapa-siapa, tidak dikenal bahkan anonim. Buzzer itu bisa siapa saja, bisa disekililing kita atau seseorang tanpa sengaja bisa menjadi buzzer. Seorang buzzer bisa menaikan seorang tokoh atau menjatuhkan suatu tokoh dengan isu tertentu.

Para buzzer itu muncul dalam dinamika politik. Kelompok ini sangat lihai dan mahir mengelola suatu isu publik melalui media sosial terutama twitter, sehingga menjadi perbincangan luas khalayak (viral). Akun-akun medsos buzzer bisa saja cuma sembarang nama dengan foto profil perempuan, laki-laki atau tokoh anime. Pihak yang merekrut para buzzer tidak menggubris siapa identitas asli buzzer-buzzer ini.

Bagi perekrut paling penting misinya tersebar dan viral di dunia maya. Buzzer bukanlah sosok terkenal tapi mereka bisa mempengaruhi hingga menjadi trending topik media sosial, mesin pencari dan konten viral. Buzzer yang meyakini kebenaran atas subjek yang akan dia dengungkan maka akan bekerja sukarela. Sedang buzzer yang memperoleh imbalan dari pekerjaan tidak lagi berpikiran tentang kebenaran, norma maupun etika.

Dilansir dari tulisan di media Republika, Debat politik dalam demokrasi dapat dibenarkan untuk kepentingan pendidikan politik. Saling serang politik dengan menggunakan data akurat terkait isu publik justru akan menjadikan publik kaya informasi (tapi yo jangan dibuat sandiwara dan ojo disisipi buzzer). Dengan informasi, pilihan politik warga akan didasarkan pada pertimbangan demi kebaikan publik (Public Good). Bukan pertimbangan suka atau tidak, pertimbangan keyakinan yang dianut atau bahkan pertimbangan fisik semata.

Beberapa hari yang lalu Presiden juga menyampaikan agar masyarakat lebih aktif mengkritik pemerintah. Namun, banyak kalangan bersikap skeptis dengan menuding buzzer dan Undang-Undang tentang Informasi  dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai penghambat budaya demokrasi. Setiap kritik terhadap pemerintah, entah dari lembaga atau perseorangan akan mendapat serangan dari buzzer pendukung pemerintah di media sosial dan rentan dipidanakan. Tapi tenanan ora iki, yen meh kritik wis berdasar data fakta sing akurat tapi mung agak nge-gas tetap di jerat UU ITE ora yo?




Komentar