Srawung Seni Sakral Internasional 2018, Tari Hudoq Khas Kalimantan

 

Event kebudayaan memang selalu menarik untuk diliput. Sebagai masyarakat Jawa yang masih kental akan tradisi, khususnya masyarakat Solo. Pergantian tahun baru Jawa menjadi hal yang sakral. Namun, era yang sudah berubah, mulai menjadikan peringatan tahun baru Jawa (Suro) di Solo sebagai bentuk peleburan tradisi Jawa kuno menjadi sebuah kebudayaan. Pengenalan budaya Jawa kepada generasi muda agar tidak tergerus zaman dan sebagai salah satu upaya pelestarian budaya Indonesia.

Pemerintah Kota Solo menggandeng pegiat seni Solo menggelar event budaya kesenian Srawung Seni Sakral Internasional di Museum Radya Pustaka (12/9/2018). Event Srawung Seni Sakral Internasional ini, dapat mewujudkan Kota Solo sebagai Kota Budaya dan menciptakan ruang tumbuh kembang budaya lokal. Ada 11 penampil dari berbagai daerah dalam acara ini.

Penampil pertama kolaborasi Djarot Budi Darsono, Studio Taksu dengan Gangsa Usada dari Solo. Penampilan pertama oleh Djarot BD yang membawa dua bilah kayu. Beberapa saat muncul empat wanita yang menari dengan lemah gemulai diiringi tembang Jawa. Di akhir penampilan seniman Gangsa Usada dengan Lokodoyowiguno menabuh gending Jawa.

Penampil kedua percampuran seniman lokal dengan manca. Yolanda Corona Caraveo (Mexico) berkolaborasi dengan Dewi Ayu Eka Putri (Bali). Mereka menampilkan sebuah tarian yang menggambarkan padi dan jagung sebagai bentuk refleksi kehidupan. Biji benih melahirkan kehidupan pada jagung dan padi.


                                                                           Tari Hudoq


Penampil selanjutnya Dayak Bahau Beran Pare dari Balikpapan. Ada beberapa ritual khusus yang mereka lakukan sebelum tampil. Mereka tampil mengenakan pakaian adat khas suku Dayak. Setelah ritual selesai ada dua penari berdiri diatas gong kecil, mereka menari sambil diiringi menggunakan alat musik tradisional sampe’ atau kecapai. Lalu lima penari muncul dengan membawa kipas bulu. Di akhir penampilan semakin menarik karena mereka menampilkan tarian Hudoq khas suku Dayak Bahau. Ada lima orang mengenakan kostum topeng seperti binatang (burung). Kostum mereka menggambarkan berbagai macam karakter seperti pelindung, penghancur, dan karakter leluhur. Para penari Hudoq memakai baju yang berwarna hijau rumbai.

Tarian Hudoq unik dan sakral. Para penari akan berteriak dan menghentakkan kakinya ketika iringan musik khas Dayak Bahau mulai dimainkan. Para penari pengiring akan melemparkan seperti beras kearah penari Hudoq. Tarian ini juga melambangkan kesejahteraan masyarakat setempat. Saya baru pertama kali menyaksikan langsung budaya dari Kalimantan Timur ini. Walah, ingat Film Erau Kota Raja dengan Festival Erau di Tenggarong yang terkenal itu hahaha. 

Suku Dayak Mahakam Ulu suka memakai Tato (Tedak dalam bahasa Dayak Bahau) dan memanjangkan telinga (kalau Suku Karen di pedalaman Thailand terkenal dengan leher panjangnya). Budaya Suku Dayak Bahau pemakaian Tedak sebagai status strata sosial masyarakat dan penanda status perkawinan. Lalu, pemakaian anting oleh kaum perempuan masyarakat Dayak disebut Hisang. 

Mereka memakai anting sejak usia 5 tahun dan akan terus bertambah seiring usianya. Bagi masyarakat Dayak Bahau memilih perak untuk menandakan komunitas mereka. Sedangkan, masyarakat Dayak Kenyah memakai Kuningan. Menarik yo membahas tentang budaya Indonesia, akeh sukune 😁😁😁😁😁

 


                                                                Tari Gong Kalimantan


Komentar