Mundurnya “Jubir Kalem” Febri Diansyah (Komisi Pemberantasan Korupsi)


Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di lembaga anti-rasuah memutuskan mundur melalui surat yang dikirim ke Sekjen KPK pada Jumat 18 September 2020. Febri memberikan keterangan mengenai alasannya mundur, salah satunya yaitu mengenai kondisi politik dan hukum yang berubah di KPK. Ia ingin  tetap berkontribusi dan tetap mendukung KPK tetapi dari luar.

Dalam sebuah wawancara di media kumparan, saat itu Febri menjelaskan bahwa ada perubahan fundamental di Undang-Undang yaitu kebijakan politik hukum negara. Dalam kebijakan ini menempatkan KPK di rumpun Eksekutif, yang mana dalam sejarahnya tidak pernah terjadi. Ini bisa menimbulkan persoalan berupa tafsir-tafsir yang berbeda (KPK berada di ruang lingkup pemerintah). Dalam putusan Mahkamah Institusi, pemahaman KPK dalam rumpun Eksekutif adalah karakteristik penanganan dalam melaksanakan tugasnya saja. Ini bukan berarti bahwa KPK sepenuhnya berada dibawah lingkup pemerintah (presiden). KPK merupakan lembaga independen seperti fitrah awal terbentuknya.

Selain itu, dalam Revisi Undang-Undang yang baru, Pegawai KPK juga disebut ASN (Aparatur Sipil Negara) sementara sebelumnya pegawai KPK terdiri dari tiga pegawai tetap, pegawai negeri yang dipekerjakan dalam batas waktu tertentu dan pegawai tidak tetap. Salah satu aspek pentingnya, bagaimana pegawai KPK bisa bekerja secara maksimal tapi juga bisa independen karena masa depan KPK ada di pegawai KPK.

Mulai muncul isu di pemberitaan media tentang pelemahan KPK beberapa bulan yang lalu, hal ini mulai terlihat dari penurunan kepercayaan terhadap KPK. Jika, KPK yang dulu sering sekali mengungkap kasus korupsi, saat ini kredibilitas KPK menurun (kasus Harun Masiku belum tertangkap).

Febri yang sudah 5 tahun bekerja di lembaga anti-rasuah tersebut membeberkan gambaran penting yang mempengaruhi keberhasilan KPK di berbagai dunia. Terdapat tiga faktor utama yang pertama political will yaitu komitmen politik yang kuat akan menentukan berhasil atau tidak berhasilnya pemberantasan korupsi di sebuah negara tersebut. Kedua, Independensi kelembagaannya (aspek lembaga, aspek fungsi dan pegawai yang akan melaksanakan semua tugasnya). Ketiga, seberapa besar lembaga itu dimiliki atau didukung oleh publik (Indonesia). Publik bisa menilai sendiri KPK saat ini, seperti misalnya bila ada orang yang bermasalah didalamnya maka proseslah mereka.

Saya tahu tentang mas Febri Diansyah melalui media ketika KPK menangani kasus Setya Novanto dan beberapa Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus korupsi. Jubirnya kalem, tenang, tapi tegas. Hal yang saya suka dari mas Febri adalah sikap tenangnya, banyak perkataan yang mengarah kepadanya namun selalu bisa dijawab secara logis dan jelas (kalem). Saya selalu tertarik dengan berbagai isu korupsi seperti kata Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri yang mengatakan bahwa korupsi jadi masalah utama untuk investasi di Indonesia. “Investasi tidak ada masalah. Ibarat kita makan yang bergizi tapi berat badan tidak naik. Banyak cacing di perut, itu namanya korupsi. Korupsi bikin investor dalam negeri sakit kepala. Nomor satu korupsi dan nomor dua birokrasi yang tidak efisien,” ujarnya di acara Mata Najwa.

Febri Diansyah sudah menjadi jubir KPK selama tiga periode kepemimpinan yaitu Abraham Samad, Agus Rahardjo dan Firy Bahuri. Ia merupakan lulusan Universitas Gajah Mada Fakultas Hukum (2007). Pria kelahiran Padang 8 Februari 1983 tersebut pernah aktif di LSM Indonesia Corruption Watch selama 7 tahun. Ia ditempatkan dibagian program monitoring hukum dan peradilan dengan tugas memantau jalannya proses peradilan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Febri mendapatkan penghargaan dari lembaga riset politik Charta Politika Indonesia atas isu-isu korupsi.

Febri berencana akan aktif di bidang advokasi publik yang menangani para korban korupsi. Seperti, korupsi kehutanan atau terkait pertambangan berdampak terhadap masyarakat sekitarnya. 👍👍👍👍👍👍👍👍👍. 

 

                                             


 

Komentar