Baru-baru ini polemik kenaikan BPJS kesehatan mencuat di berbagai
media online. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mulai menimbulkan
polemik setelah pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS kesehatan tahun
2020.
Kebijakan kenaikan BPJS tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 64 Tahun 2020. Kebijakan tersebut sempat dibatalkan melalui putusan
Mahkamah Agung. Namun, pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS kesehatan untuk
peserta mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).
Bila melihat berita tentang iuran BPJS, memang selalu mengalami
kenaikan setiap tahunnya. Itu dikarenakan BPJS sering mengalami defisit
sehingga perlu adanya kenaikan. Akan tetapi di masa sulit seperti saat ini
akibat wabah corona, kenaikan BPJS dirasa kurang tepat terutama bagi masyarakat
yang sangat terdampak.
Presiden Joko Widodo pada bulan Mei sudah menandatangani beleid
kenaikan BPJS kesehatan yang akan berlaku mulai 1 Juli 2020. Berikut tarif BPJS
Kesehatan 2020 sebelum dan setelah naik (berlaku 1 Juli 2020):
Sebelum kenaikan:
Peserta mandiri kelas I: Rp 80.000
Peserta mandiri kelas II: Rp 51.000
Peserta mandiri kelas III: Rp 25.500
Setelah kenaikan:
Peserta mandiri kelas I: Rp 150.000
Peserta mandiri kelas II: Rp 100.000
Peserta mandiri kelas III: Rp 42.000
Sebagai informasi, iuran BPJS 2020 atau tarif BPJS 2020 khusus
untuk kelas III, iuran periode Juli -
Desember 2020, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan
tetap Rp 25.500. Kendati demikian, pada 2021 mendatang subsidi yang dibayarkan
pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta
adalah Rp 35.000.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto,
menjelaskan putusan kembali menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu
Indonesia Sehat (JKN-KIS) demi menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan. Kinerja
BPJS Kesehatan terus mendapat sorotan dari masyarakat. Pemerintah pun terus
berupaya untuk memperbaiki sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.
Kini yang menjadi pertanyaan adalah apakah kenaikan tersebut
diimbangi dengan kualitas pelayanan yang sesuai. Terkadang masih ada beberapa rumah sakit yang membedakan
antara pelayanan jalur mandiri dengan pelayanan melalui BPJS Kesehatan.
Saya enggak mau su’udzon sebenarnya tetapi apa yang saya
lihat membuat saya berpikiran kesana. Dulu waktu bapak saya sakit dan di rujuk
kerumah sakit, memang langsung ditangani karena darurat. Setelah bapak saya
sadar, kami diharuskan mengurus administrasi untuk mengambli kamar perawatan. Saat
itu menggunakan BPJS kelas 1. Setelah mendapatkan kamar dan dirawat beberapa
hari lantas diperbolehkan pulang. Namun, seminggu kemudian harus dirawat
kembali karena kaki bapak saya membengkak. Bapak saya menderita diabetes, kata
sang dokter perempuan spesialis penyakit dalam, nanti akan diobatin dari dalam.
Setelah, check up kakinya semakin membengkak dan bernanah. Pihak rumah sakit menganjurkan
harus segera dioperasi dengan biaya perkiraan 10 juta. Dalam waktu 24 jam, kami
mencari dana dan alhamdulillah mendapatkan dana tersebut. Karena,
jika tidak segera dioperasi bisa berbahaya karena kakinya sudah berbau, bukan
operasi amputasi namun operasi pengerukan luka yang membusuk pada mata kaki. Pihak
rumah sakit tidak mau mengambil tindakan sebelum administrasi diselesaikan. Keesokan
harinya bapak saya dioperasi dan beberapa hari kemudian diperbolehkan pulang. Yang
membuat saya heran, bapak saya paru-parunya enggak kenapa-kenapa lha kok pake
spesialis paru segala. Setelah diperiksa katanya ada bercak tanda hitam sedikit
yang mengarah ke TBC, padahal bapak saya tidak pernah merokok dan tidak ada
riwayat sakit paru. Sang dokter menjelaskan masalah tentang paru bla bla bla
dengan istilah medisnya (saya jadi tahu informasi tentang penyakit TBC).
Setelah pulang dan membawa obat segudang banyaknya. Bapak dirawat
dirumah seminggu sekali ada perawat yang menggantikan perban luka bekas operasi.
Luka hampir kering dan sembuh, bapak saya mengeluh sakit pinggang. Kami bawa
kerumah sakit, lalu berkonsultasi dengan dokter tulang, pihak rumah sakit
menganjurkan harus di terapi sinar X atau bagaimana, enggak ngerti. Malah kaki
bapak saya jadi enggak bisa jalan. Padahal ketika kerumah sakit masih bisa
jalan. Dokter tulang menganjurkan untuk dirujuk ke rumah sakit negeri di Solo
yang fasilitasnya komplit. Lalu, dirawat disana beberapa hari, enggak ngerti
juga kok dicampur dengan pasien lain, yang satu sakit kanker stadium 4 dan yang
satu kanker paru berat. Saya minta untuk pindah kamar, namun pihak rumah sakit
mengatakan kamar penuh, kalau mau pindah ya harus ke kelas
VIP.
Beberapa hari berada dikamar tersebut. Saya bingung dokternya ganti-ganti dan terkadang ada dokter koas juga. Pernah bapak saya tiba-tiba menggigil, padahal sudah diselimuti dan AC dikecilkan, saya tanya ke perawat katanya kalau belum emergency belum dilakukan tindakan (maksudnya apa ini jadi nunggu parah baru ambil tindakan). Kami menunggu hingga esok bapak saya masih menggigil lalu saya ke perawat lagi beberapa kali, mungkin perawatnya agak jengkel saya datangi terus, lalu bapak saya disuntik bagian infus, enggak ngerti disuntik apa.
Sudah 3 minggu dirawat tidak ada perubahan lalu dipindahkan ke VIP,
muncul su’udzon apa membayar dengan BPJS pelayanan tidak maksimal begitupun
obatnya. Jika dipindah ke kelas VIP dengan bayar mandiri (mahal sekali) apakah
bisa lebih baik. Lalu pindah, memang dari segi pelayanan perawat juga sedikit
berbeda. Saya tahu perawat juga manusia mungkin ada masalah pribadi karo pacar’e, capek, gaji belum turun
dll, tapi mbok ya ojo sengit yen nglayani pasien, lawong pasien kuwi wis sakit dan tekanan
pikiran’e yen disengiti opo ra yo tambah tekanan, soale kuwi yo pekerjaan’e perawat. Kalau, dikelas 1,2,3 dengan seabrek pasien pelayanannya ya
terkadang agak sengit. Tapi kalau di VIP enggak pernah sengit (saya heran). Tapi
kata saudara sepupu saya soal obat sama sebenarnya namun fasilitas pelayanan
yang mungkin berbeda, yo iyo bayar’e wae yo bedo. Biasanya rumah sakit yang ada akreditasi A
akan selalu mengutamakan kualitas agar terus bertahan menjadi rumah sakit
terbaik. Saat itu, ada tim akreditasi pusat ingin meninjau suatu rumah sakit,
masuk bangsal untuk mengecek. Saya yang kebetulan sedang menjaga bapak saya, pagi-pagi
disuruh membereskan tikar agar kelihatan rapi dan bersih (katanya mau ada
akreditasi, tolong kerjasamanya begitu kata salah satu perawat).
Saya juga mendapat cerita dari teman, dia melahirkan di rumah sakit swasta menggunakan BPJS. Saat itu dia melahirkan secara cesar, setelah melakukan operasi dan 2 hari kemudian dokter mengatakan boleh pulang (bukankah jahitan belum kering). Berbeda kalau melalui jalur mandiri saya rasa harus benar-benar sembuh total selama beberapa hari lagi (kualitas memang terjamin, biaya membengkak). Jenenge menungso yo kepengen kualitas maksimal tapi biaya murah dan terjangkau.
Sekarang, bayar melalui BPJS, pihak rumah sakit kan harus
mengklaim ke kantor BPJS yen tersendat karena wis nunggak dll, sing arep nggo
gaji dokter karo perawat’e yo opo? Apalagi yang sakit itu banyak dan ada yang
dalam waktu lama. Saat itu saya
juga maklum dan mikir seperti itu (tapi sebelum
wabah penyakit corona menyerang).
Setelah, wabah virus covid-19 menyerang, banyak bantuan
dari berbagai pihak dan pemerintah ke rumah sakit rujukan khusus yang menangani
covid. Tapi katanya (media) ada juga rumah sakit yang belum cair bantuannya
untuk tenaga kesehatan. Saya itu sebenarnya percaya ini virus sangat
berbahaya tapi lagi-lagi ada cerita seseorang meninggal yang katanya bukan covid
tapi karena penyakit bawaan oleh pihak rumah sakit dikatakan covid (lha sing
bener iki sing piye). Sampe saya tanya sama yang kerja dokter atau perawat covid katanya memang
ada dan berbahaya tetapi pemberitaan saja yang terkadang agak berlebihan. (Intinya
jangan kebanyakan su’udzon yo gak baik sebenarnya, yo wis pasrahkan kepada yang
diatas) #Curhat#

Komentar
Posting Komentar