Pemakaian Cadar Ajaran Agama Atau Budaya Islam???


Mungkin, artikel yang saya tulis ini sudah “expired” tapi saya gatal pengen nulis tentang hal ini. Masih ingat mencuatnya berita tentang aturan pelarangan pemakaian cadar di kawasan kampus UIN Sunan Kalijaga Jogja. Seketika, berita ini langsung mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Ini bermula ketika rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogja Yudian Wahyudi mengumumkan surat pemberitahuan untuk melakukan pembinaan semua mahasiswi bercadar di lingkup kampus. Tanggal 20 Februari 2018, didalam surat disebutkan meminta koordinasi dengan wakil dan staf untuk segera mendata dan melakukan pembinaan terhadap para mahasiswi yang memakai cadar. Hal yang melandasi pihak kampus untuk mengeluarkan surat pemberitahuan ini adalah untuk menangkal radikalisme dan fundamentalisme di kampus. Polemik mulai bermunculan dari tanggapan masyarakat, banyak yang mengasumsikan pelarangan ini hanya kekhawatiran pihak tertentu. Pihak kampus menjelaskan terkait aturan yang dibuat. Melakukan pembinaan terhadap mahasiswi bercadar untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Seperti, kasus perjokian dalam ujian karena para mahasiswi yang menggunakan cadar tidak terlihat wajahnya.
Hingga, tanggal 10/3/2018, pihak kampus UIN Jogja mencabut larangan penggunaan cadar. Beberapa hari kemudian muncul pemberitaan, adanya pelarangan bercadar di IAIN Bukittinggi, Sumatera Barat. Dosen bernama Hayati Syafri diberi sanksi dengan dinonaktifkan sebagai dosen oleh pihak kampus karena mengenakan cadar. Dosen Hayati diketahui merupakan dosen Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (IAIN) Bukittinggi. Dosen Hayati tetap teguh pada pendiriannya dalam menjalankan keyakinannya dalam beragama.
Di Timur Tengah, penggunaan cadar (niqab atau burqa) untuk melindungi diri dari debu dan agar tidak diganggu oleh lelaki. Mayoritas wanita muslimah menggunakan cadar agar terhindar dari bahaya atau hal yang tidak diinginkan.
Pemakaian cadar sebagai bentuk pemahaman terhadap budaya islam di negara Indonesia tidak perlu disoalkan. Namun, apabila pemakaian cadar sudah dipahami sebagai sebuah ideologi yang kemudian jauh dengan nilai-nilai budaya bangsa maka menjadi tidak tepat.
Pemakaian cadar merupakan hak setiap muslimah dalam mengamalkan agamanya. Dalam Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa aurat perempuan dalam konteks yang berkaitan untuk menjaga diri dari pandangan orang lain atau yang bukan muhrim, meliputi semua badannya termasuk kedua telapak tangan dan wajah. Konsekuensinya adalah wajib menutupi wajahnya.
Terlepas dari permasalahan diatas, beberapa hari yang lalu di Indonesia sedang di guncang teror. 13/05/2018 telah terjadi aksi terorisme dengan ledakan bom bunuh diri tiga gereja di Surabaya. Seperti yang telah diberitakan di beberapa media, aksi keji pelaku bom bunuh diri dengan melibatkan anggota keluarga dan lebih mengerikan lagi anak-anak turut disertakan. Doktrin radikalisme sudah tertanam dalam keluarga pelaku. Saat, aksi teror dilakukan istri pelaku dengan kedua anak perempuan mereka menggunakan cadar. Ini sudah mencoreng atribut islam untuk hal kejahatan. Islam adalah agama yang toleran dan damai, Stigma terhadap pengguna cadar harus dirubah, tidak bisa dipukul rata semuanya. Tidak semua pengguna cadar mempunyai aliran radikal dan fundamentalis. Justru, melalui pendekatan terhadap mereka agar lebih terbuka. Selagi penggunaan cadar benar-benar sesuai dengan pengamalan agama dan demi kebaikan bersama itu sah-sah saja.



                                                                     Portal Republika.com





Komentar