Tren barang thrift menjadi populer di kalangan anak muda belakangan ini. Barang thrift atau biasa disebut barang awul-awul ini merupakan baju bekas layak pakai yang dijual kembali. Biasanya baju-baju ini diimpor dari Amerika, Jepang, China, Korea Selatan dalam jumlah yang besar.
Berdasar sejarahnya, tren fashion thrift awal mulanya ditandai dengan adanya mass-production of clothing (produksi masal pakaian) pada revolusi industri di akhir abad ke-19. Karena pada masa itu terjadi produksi pakaian secara besar-besaran, harga pakaian baru pada masa itu menjadi sangat murah dan terjangkau.
Pada masa itu, tak jarang masyarakat langsung membuang pakaian yang baru beberapa kali dipakai. Kebiasaan tersebut menyebabkan limbah pakaian menjadi menumpuk. Limbah pakaian yang makin menumpuk hari demi hari biasanya akan diambil oleh para pelancong karena pada dasarnya pakaian tersebut masih sangat layak untuk dipakai.
Hal ini menyebabkan sebuah kebiasaan baru bagi masyarakat untuk memakai pakaian bekas. Tren tersebut masih sering dilakukan sampai beberapa tahun setelahnya. Hingga saat ini, tren memakai pakaian bekas kembali muncul lagi dan akrab disebut dengan thrifting.
Di beberapa kota di Indonesia tren barang thrift memiliki nama yang berbeda, seperti di Balikpapan kata thrift akrab disebut dengan cakaran, Medan disebut dengan Monja, Solo disebut awul-awul dan di Sulawesi disebut dengan cakar (cap karung).
Di event thrifting di Kota Solo, saya melihat ada banyak barang fashion dari berbagai brand ternama luar. Produk yang dijual tidak hanya baju saja, ada jam tangan, tas, sepatu, buku, aksesoris, dll. Peminatnya pun cukup banyak dan didominasi para kalangan muda. Bagi mereka yang suka membeli barang, ini menjadi sebuah kebutuhan untuk tampil menarik tapi dengan budget yang ramah dikantong.
Saya sempat bertanya kepada salah satu pengunjung, apa yang sebenarnya membuat mereka tertarik dengan produk thrift. Mereka mengaku tertarik dengan barang thrift karena harganya yang murah dan adanya banyak diskon. Lalu, barang yang dijual lengkap, masih bagus dan enggak kalah dengan barang baru. Sementara para penjual hanya mengikuti pangsa pasar, apa yang baru tren, mereka akan menyediakannya.
Fenomena jual beli barang thrift dipicu defisit ekonomi besar. Hal ini memunculkan ide inovatif tentang pemanfaatan barang bekas agar menghemat pengeluaran. Di Kota Solo sendiri tren fashion thrift atau baju awul-awul yang dulunya dipandang sebelah mata kini malah naik kelas. Para kreator event thrifting di kota Solo adalah para millenial, ini bisa menjadi salah satu ladang bisnis menjanjikan untuk para millenial.
Terlepas dari ini semua tentu saja ada kontroversi regulasi yang menyertainya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor pakaian sepanjang Januari-Oktober 2021 mencapai 58,1 ton dengan nilai total US$517,2 juta atau Rp7,34 triliun. Data ini menunjukkan kenaikan impor pakaian jadi baik dari sisi volume maupun nilai dibandingkan periode yang sama pada 2020. Dalam peraturan terbaru, pemerintah mengenakan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) terhadap baju bekas impor mulai 12 November 2021 hingga tiga tahun ke depan.
Komentar
Posting Komentar